Fenomena Sempalan Keagamaan Di Kalimantan Selatan

Dalam kehidupan umat manusia, kita dapat menemukan persamaan sekaligus perbedaan, tak terkecuali dalam kehidupan beragama. Manusia dapat bersatu memeluk satu agama tertentu. Tetapi manakala agama itu berkembang, menyebar ke berbagai wilayah, dan bertahan selama berabad-abad, biasanya akan muncul aneka perbedaan di dalamnya. Perbedaan itu kadang bisa ditoleransi oleh tokoh-tokoh ortodoksi, kadangkala tidak. Bahkan tidak jarang, perbedaan itu bukan hanya melahirkan perpecahan, melainkan peperangan yang berdarah-darah.

Dalam menyikapi munculnya paham, aliran dan gerakan baru dalam suatu agama, para ulama biasanya akan menimbangnya dari sudut pandang teologis, yakni apakah paham, aliran atau gerakan baru tersebut sesuai atau bertentangan dengan ajaran-ajaran dasar agama (Mujiburrahman 2016 dan 2017: 43-47). Sejumlah kriteria kemudian dibuat, untuk menilai apakah ia masih dalam koridor kebenaran atau sudah jatuh dalam kesesatan.  Imam al-Ghazali (w. 1111 M) misalnya, menulis risalah berjudul Faishal al-Tafriqah Bain al-Islâm wa al-Zandaqah di mana ia menegaskan bahwa ada tiga prinsip iman dalam Islam yang tak bisa ditawar-tawar, yaitu iman kepada Allah, kenabian dan hari akhirat (Ghazali 1996). Sementara al-Syahrastani (w. 1153 M) dalam al-Milal wa al-Nihal mencoba menjelaskan secara apa adanya berbagai aliran, filsafat dan teologi yang berkembang hingga di zamannya (Syahrastani 1992). Namun di dalam Nihâyat al-Iqdâm fi ‘Ilm al-Kalâm, ia dengan jelas mengikuti Asy’ariyah sebagai aliran teologi yang dianggapnya benar (Syahrastani 1934).

Sejalan dengan al-Syahrastani, Muhammad Arsyad al-Banjari (w. 1812 M) telah menulis Tuhfat al-Râghibîn fi Bayâni îmân al-Mu’minîn wa mâ Yufsiduh min Riddat al-Murtaddîn (1983) di mana ia menerangkan bahwa hakikat (esensi) iman menurut pandangan Ahlussunnah adalah pembenaran dengan hati (tashdîq bi al-qalb), sedangkan pernyataan dengan lisan dan pelaksanaan dalam perbuatan termasuk kesempurnaan iman (kamâl al-îmân). Penilaian teologis ini pulalah yang bisa kita pahami dari sepuluh kriteria yang ditetapkan MUI pada 2007 silam tentang ciri-ciri kesesatan suatu paham, aliran dan gerakan Islam.